Makalah Lengkap Konsep Hukum Islam dalam Alquran antara Keadilan dan Kemanusiaan


Makalah Lengkap Konsep Hukum Islam dalam Alquran
Makalah Lengkap Konsep Hukum Islam | Elexix Blog


MAKALAH


Konsep Hukum Islam dalam al-Quran antara Keadilan dan Kemanusiaanan

Logo UIN Alauddin Makassar png
Logo UIN Alauddin Makassar png



oleh:

Muh. Galang Pratama


2018



-----------------------------------------------------------------



BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai makhluk sosial manusia berhadapan dengan lingkungan masyarakat yang memiliki kepentingan dan keinginan yang berbeda-beda. Manusia juga berhadapan dengan sesama manusia yang mempunyai kemerdekaan pribadi, kehendak dan perasaan. Setiap hari manusia saling berhubungan, saling berinteraksi, saling kenal dan saling membutuhkan.

Di dalam proses kemasyarakatan itu disamping saling bantu, tolong menolong, tidak jarang terjadi benturan antara satu sama lain, tidak jarang menimbulkan tindakan sewenang-wenang, diskriminatif ketidakadilan yang menggangu hak-hak orang lain dan menimbulkan perselisihan. Perselisihan itu terjadi karena tidak terdapat penyesuaian pendapat atau kehendak. 

Masing-masing merasa dirugikan oleh yang lain dan masing- masing berpegang pada kebenaran sendiri serta menyalahkan yang lain. Disinilah urgennya keberadaan sebuah hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat sekaligus sebagai solusi dalam menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara mereka.


Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup (al-huda) bagi manusia dalam mengarungi lalu lintas kehidupan di dunia dan akherat. Al-Qur’an memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariah dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsipil ketiga persoalan tersebut.[1] Hukum Islam sebagai hukum yang berasal dari wahyu Allah SWT (al-Qur’an) merupakan hukum yang tidak dapat diragukan lagi kebenarannya. 

Di mana hukum Islam ini mengatur segala bentuk kehidupan manusia dalam menjalankan kehidupannya, baik dalam hubungannya dengan Allah SWT maupun dengan sesama manusia bahkan terhadap lingkungannya.


Dengan demikian dapat diungkapkan bahwa ada ayat-ayat dalam al-Qur’an yang mengandung nilai hukum. Selaras dengan hal ini Yoseph Schacht mengemukakan, bahwa Islam – yang bersumber dari al-Qur’an – tidak hanya mengatur masalah ibadah ritual saja, namun ia juga mengatur kepentingan hubungan manusia dalam hidup kemasyarakatan, seperti masalah kehidupan rumah tangga, pendidikan, ekonomi, ketatanegaraan, politik dan hukum. Islam adalah pengetahuan yang pure exellence. Mustahil memahami Islam tanpa memahami hukum Islam.[2] 

Begitu juga pengakuan Snouck Hurgronje, bahwa “Islam is a religion of law in the full meaning of the word (Islam adalah agama hukum dalam arti kata yang sebenarnya.[3]

Baca Juga : Kord Gitar dan Lirik Lagu Seventeen - Kemarin (Dijamin Mudah) + Cerita Singkat di Balik Kejadian Tsunami Selat Sunda 2018

Sebagai orang yang beriman kepada Allah, Tuhan Sang Pencipta dan Pengatur alam ini, yang Maha mengetahui segala kebutuhan dan kemaslahatan hambaNya kita tentu yakin seyakin yakinnya bahwa segala ketentuan dan ketetapanNya pastilah untuk kemaslahatan manusia dalam kehidupan dunia ini, termasuk ketika Allah menurunkan hukum syari’at kepada ummat manusia juga adalah untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka, karena keterbatasan akal dan ilmu yang dimiliki sehingga terkadang tidak bisa diselami hikmah dan maslahat dibalik ketetapan syariat tersebut.


B. Rumusan Masalah

Sabagian orang dari kalangan orientalis dan orang orang yang tidak senang terhadap Islam menganggap bahwa konsep hukum Islam yang terdapat dalam al Qur’an terutama yang berhubungan dengan hukum qisas, hukum potong tangan bagi pencuri, pembagian harta warisan, adalah tidak sejalan dengan keadilan dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Maka di sini akan dideskripsikan tentang Konsep Hukum Islam dalam al-Qur’an antara keadilan dan kemanusiaan.

Berdasarkan latarbelakang pokok masalah tersebut, maka dirumuskan sub masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana hukum dalam al-qur’an?
2. Bagaimana konsep hukum Islam dalam al-qur’an antara keadilan dan kemanusiaan?



BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum dalam al- Qur’an

Al-quran adalah kalam Allah yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw dan tertulis di dalam mushaf berdasarkan sumber-sumber mutawatir yang bersifat pasti kebenarannya, dan yang dibaca umat Islam dalam rangka ibadah.[4]

Al-Qur’an adalah kitab petunjuk hidup (way of life atau al-huda). Sebagai al-huda, al-Qur’an merupakan traffic light dalam menjalani lalu lintas kehidupan. Bahkan secara implisit, al-Qur’an dapat dipandang sebagai kitab hukum. Kitab hukum yang dimaksudkan di sini dalam arti hukum yang universal, bukan kitab undang-undang yang sifatnya temporal, dan lokal.

Perlu dikemukakan, bahwa ayat-ayat yang berkaitan dengan persoalan hidup kemasyarakatan secara historis pada umumnya diturunkan di Madinah. Ayat-ayat tersebut biasa disebut ayat-ayat ahkam atau ayat-ayat hukum.

Menurut penelitian Abdul Wahab Khallaf, bahwa dibandingkan dengan jumlah 6360 ayat yang terkandung dalam al-quran, ayat hukum hanya sedikit. Jumlah ayat-ayat hukum tersebut hanya 5,8 persen dari seluruh ayat al-quran, dengan rincian sebagai berikut:

1. Mengenai ibadah salat, puasa, haji, dan lain-lain sebanyak 140 ayat
2. Mengenai hidup kekeluargaan, perkawinan, perceraian, hak waris dan sebagainya, sebanyak 70 ayat
3. Mengenai hidup perdagangan/perekonomian, jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, gadai, perseroan, kontrak, dan sebagainya sebanyak 70 ayat
4. Mengenai soal kriminal sebanyak 30 ayat
5. Mengenai hubungan Islam dan bukan Islam sebanyak 25 ayat
6. Mengenai soal pengadilan sebanyak 13 ayat
7. Mengenai hubungan kaya dan miskin sebanyak 10 ayat
8. Mengenai soal kenegaraan sebanyak 10 ayat.[5]

Keterangan di atas menunjukkan bahwa ayat-ayat yang mengatur soal hidup kekeluargaan dan perdagangan/ perekonomian mempunyai jumlah terbesar. Besarnya jumlah ayat mengenai kekeluargaan, karena keluargalah yang merupakan unit kemasyarakatan terkecil dalam setiap masyarakat.

Ayat hukum mengenai perdagangan/perekonomian juga banyak, karena kemakmuran materil individu dan keluarga merupakan syarat penting dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera.

Perbuatan-perbuatan kriminal merusak ketenteraman masyarakat, dan masyarakat perlu dipelihara dari berbagai tindakan kriminal anggota masyarakat yang berakhlak rendah. Untuk inilah, maka ayat-ayat hukum mementingkan soal kriminal dan bersikap keras terhadap tindak kriminal.[6]

Minimnya ayat-ayat hukum ini erat kaitannya dengan dinamika kehidupan masyarakat yang menjadi subyek sekaligus obyek hukum itu sendiri. Masyarakat bersifat dinamis, senantiasa mengalami perubahan dan berkembang mengikuti peredaran zaman.

Baca Juga : Cara Menulis Opini dengan Mudah dan Dibayar / Cara Membuat Artikel untuk Media Massa Berhonor

Padahal hukum mempunyai efek mengikat. Kalau semua problem masyarakat yang selalu berkembang dan berubah itu telah diatur secara absolut dan rinci dalam al-Qur’an, maka dinamika perkembangan masyarakat menjadi terhambat.[7]

Karena al-Qur’an merupakan syariat Islam yang bersifat menyeluruh, maka mayoritas penjelasan hukumnya bersifat global, dan sedikit sekali yang terinci. Penjelasan al-Qur’an terhadap hukum terdiri dari tiga bentuk, yaitu:

1. Penjelasan al-Qur’an bersifat sempurna. Dalam hal ini sunnah berfungsi untuk menetapkan makna yang dikandungnya. Misalnya QS al-Baqarah/2:185


فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Terjemahnya :
“Karena itu barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah.”[8]

Begitu juga ayat qazaf (menuduh wanita baik-baik berzina) dan li’an berkaitan dengan suami yang menuduh isterinya berbuat zina. Ayat-ayat tersebut menjelaskan hukuman pelakunya secara sempurna.

2. Penjelasan Al-Qur’an bersifat global (mujmal), sedangkan sunnah berfungsi untuk menjelaskannya lebih konkrit. Seperti perintah mendirikan salat, membayar zakat, serta lafaz-lafaz yang tidak jelas maknanya, kecuali setelah dijelaskan oleh sunnah.

3. Al-Qur’an hanya menjelaskan pokok-pokok hukum, baik dengan isyarat, maupun dengan ungkapan langsung, kemudian sunnah merinci hukum tersebut dengan sempurna.[9]

Dengan demikian muatan hukum dalam al-quran telah diberikan penjelasan secara beragam. Penjelasan rinci umumnya berkaitan dengan hukum yang telah pasti (qath’iy)tetapi hukum yang tidak pasti hanya dijelaskan secara global dan dasar-dasarnya saja.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa al-quran bukan saja mengatur tentang masalah akidah, tetapi juga tentang akhlak dan hukum. Dengan kata lain dalam al-quran terkandung berbagai aspek hukum. Kandungan hukum dalam al-quran dapat dibagi dalam beberapa bagian.

Menurut Muhammad Abu Zahrah, hukum-hukum dalam al-Qur’an terbagi atas:

1. Ibadah, seperti salat, zakat, puasa, haji, sedekah dengan segala macam dan ragamnya.
2. Kafarat, yang menjadi bagian dari ibadah sebagai penebus terhadap sebagian dari dosa (kafarat zihar, sumpah dan pembunuhan orang mukmin tanpa sengaja)
3. Hukum muamalah
4. Hukum keluarga
5. Hukum pidana
6. Hukum acara (hubungan antara hakim dan pelaku tindak pidana)
7. Perlakuan terhadap non muslim.[10]


Dengan klasifikasi yang hampir sama, Suparman Usman mengemukakan, bahwa hukum-hukum dalam al-quran secara garis besarnya terbagi kepada dua bagian, yaitu:

1. Hukum ibadat (dalam arti khusus), yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan lahiriah antara manusia dengan Tuhan.

2. Hukum muamalat dalam arti luas, yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dengan alam sekitarnya.

B. Konsep Hukum dalam Al Qur’an antara Keadilan dan Kemanusiaan.

Allah SWT menurunkan Syariat Islam dengan mengutus RasulNya Nabiullah Muhammad SAW bertujuan untuk membentuk masyarakat yang damai dan tentram. Allah SWT Berfirman dalam QS al- Anbiya’/21:107:

وما أرسلنك إلا رحمة للعلمين

Terjemahnya :
“Dan Kami tidak mengutus engkau ( Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”[11]

Ayat di atas menegaskan bahwa Allah SWT mengutus RasulNya Muhammad untuk menebar rahmat atau kasih sayang dalam kehidupan dunia. Kasih sayang tersebut bukan hanya terbatas pada hubungan manusia dengan sesamanya manusia, tetapi dalam segala hal termasuk terhadap binatang dan lingkungan.

Konsep hukum dalam al-Qur’an adalah ide pokok yang mendasari gambaran yang bersifat umum mengenai esensi atau hakekat hukum dalam al-Qur’an.[12] Dalam kaitan ini, dalam arti luas konsep hukum dalam al-Qur’an bukan saja bernilai duniawi tetapi juga bernilai spiritual. Dengan kata lain, konsep hukum dalam al-Qur’an merupakan integrasi antara nilai ilahiah dan humanis.

Konsep hukum dalam al-Qur’an bernilai ilahiah karena bersumber dari Tuhan yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana, yang ditaati karena didorong keyakinan yang sungguh-sungguh (keimanan) kepada Tuhan, dan karena Allahlah yang Maha Kuasa, yang berhak menetapkan jalan sebagai petunjuk hidup bagi umat manusia, juga bernilai humanis karena konsep hukum tersebut senantiasa memperhatikan kebutuhan dan kemaslahatan manusia dalam kehidupan dunianya.

Kalau dibaca al-Qur’an maka akan temukan banyak ayat yang menyebutkan tentang perintah untuk berbuat adil dan menegakkan keadilan, dan bahwa Allah tidak menyukai perbuatan kedzoliman yang merupakan lawan dari keadilan, diantaranya dalam QS an –Nahl/16:90.


إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ


Terjemahnya: 
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melaukuan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran “.[13]

Keadilan adalah kata jadian dari kata “adil” yang terambil dari bahasa Arab ‘adl. Kamus-kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti “sama” atau “persamaan.” Persamaan yang merupakan makna asal kata “adil” itulah yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak,” dan pada dasarnya pula seorang yang adil “berpihak kepada yang benar,” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu “yang patut” lagi “tidak sewenang-wenang.”[14]

Menurut Harun Nasution, al-‘adl berarti keadaan yang terdapat dalam jiwa seseorang yang membuatnya menjadi lurus. Orang yang adil adalah orang yang tidak dipengaruhi hawa nafsunya, sehingga ia tidak menyimpang dari jalan lurus dan dengan demikian bersikap adil. Jadi, kata al-‘adl mengandung arti menentukan hukum dengan benar dan adil.[15]

Mencermati arti aslinya itu, tidak mengherankan kalau kata al-‘adl dihubungkan dengan timbangan yang lurus secara horisontal, yaitu timbangan yang daunnya tidak berat sebelah. Kata al-‘adl lebih lanjut berarti serupa atau yang sama, dan juga berarti seimbang. Untuk meluruskan hal yang tidak lurus perlu diadakan sesuatu yang membuatnya lurus, dan dengan demikian al-‘adl berarti tebusan.[16]

Keadilan diungkapkan oleh Al-Qur’an antara lain dengan kata-kata al-‘adl, al-qist, al-mizan, dan dengan ungkapan menafikan (meniadakan) kezaliman.

‘Adl yang berarti “sama,” memberi kesan adanya dua pihak atau lebih, karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi “persamaan.”

Qist arti asalnya adalah “bagian” (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan adanya “persamaan.” Bukankah “bagian” dapat saja diperoleh oleh satu pihak? Karena itu kata qist lebih umum daripada kata ‘adl, dan karena itu pula ketika Al-Qur’an menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap dirinya sendiri, kata qist itulah yang digunakannya,[17] seperti terungkap dalam QS al-Nisa/4 :135


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُم


Terjemahnya : 
“Wahai orang-orang yang beriman! jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri…”[18]

Mizan berasal dari akar kata wazn yang berarti timbangan. Karena itu, mizan, adalah alat untuk menimbang. Namun dapat juga berarti keadilan, karena bahasa seringkali menyebut “alat” untuk makna “hasil penggunaan alat itu.”[19]

Dengan demikian keadilan yang dibicarakan dan dituntut oleh Al-Qur’an amat beragam, tidak hanya pada proses penetapan hukum atau terhadap pihak yang bertikai, tetapi al-Qur’an juga menuntut keadilan terhadap diri sendiri.

Ada beragam aspek dan objek keadilan yang telah dibicarakan oleh al-Qur’an, pelakunya pun demikian. Keragaman itu mengakibatkan keragaman makna keadilan. Dalam hal ini ada empat makna keadilan yang diungkapkan al-Qur’an:

(1) Adil dalam arti sama atau persamaan yaitu persamaan dalam hak, seperti yang diungkapkan dalam QS al-Nisa/4:58


وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ


Terjemahnya : 

“Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil “.[20]

Ayat ini menuntun sang hakim untuk menempatkan pihak-pihak yang bertikai di dalam posisi yang sama, dan bukan mempersamakan apa yang mereka terima dari keputusan hakim.

(2) Adil dari arti seimbang. Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan terhimpunnya syarat itu, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya, seperti diisyaratkan dalam QS al-Infithar/82:6-7

يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ (6) الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ (7

Terjemahannya : “ wahai manusia! apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pengasih?, yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang.”[21]

Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau kurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, maka pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan).

(3) Adil adalah perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya. Pengertian inilah yang didefinisikan dengan “menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau “memberi pihak lain haknya.”

(4) Adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. Adil di sini berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu.[22]

Dari uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa konsep hukum dalam al-Qur’an bertumpu pada prinsip keadilan. Keadilan tersebut bersumber dari Tuhan yang Maha Adil. Karena pada hakekatnya Allahlah yang menegakkan keadilan (qaiman bi al-qist), sehingga harus diyakini bahwa Allah tidak berlaku aniaya (zalim) kepada hamba-hambaNya. Karena itu, setiap perbuatan manusia akan dipertanggung jawabkan kepada Allah pada hari keadilan. Adil dalam pengertian persamaan (equality), yaitu persamaan dalam hak, tanpa membedakan siapa, dan dari mana orang yang diserahkan menegakkan keadilan.[23]

Dalam konteks keadilan hukum yang diamanatkan al-Qur’an, nabi Muhammad saw menegaskan adanya persamaan mutlak (egalitarisme absolut/al-musawah al-mutlaqah) di hadapan hukum syariat sebagaimana sabdanya:


يَا أَيُّها النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ إِلَّا بِالتَّقْوَى[24


Artinya : 

“Wahai manusia ketahuilah, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu, bapak kalian pun satu. Ketahuilah, tidak ada kelebihan dari orang Arab atas non Arab, orang non Arab atas orang Arab kecuali karena ketakwaannya.”

Keadilan dalam hal ini tidak membeda-bedakan status sosial seseorang, apakah ia kaya atau miskin, pejabat atau rakyat jelata, dan tidak juga karena perbedaan warna kulit serta perbedaan bangsa dan agama, karena dihadapan hukum semuanya sama.

Konsep persamaan yang terkandung dalam keadilan tidak pula menutup kemungkinan adanya pengakuan tentang kelebihan dalam beberapa aspek, yang dapat melebihkan seseorang karena prestasi yang dimilikinya. Tetapi kelebihan itu tidak akan menimbulkan perbedaan perlakuan hukum terhadap dirinya.

Martabat dan hajat manusia dalam pandangan al-Qur’an adalah sebagai anugerah Allah. Karena itu tidak ada satu kekuatan apa pun yang dapat merusak dan menghancurkannya, kecuali dengan ketentuan hukum yang telah ditetapkan Allah juga.

Pengakuan tentang harkat dan kehormatan ini sekaligus memperkuat adanya kewajiban dalam hukum terhadap kejahatan atau pelanggaran, hukuman seimbang atau setimpal dengan kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan.[25]

Dalam kaitan ini, orang yang – terbukti secara sah dan meyakinkan – suatu pelanggaran hukum, adalah adil jika yang bersangkutan dihukum. Pencuri adil kalau dihukum potong tangan, penzina yang belum menikah adil kalau dihukum cambuk 100 kali, dan sebagainya. Sebaliknya, keadilan hukum tidak dapat ditegakkan jika mereka yang terbukti melakukan pelanggaran hukum tidak dihukum.

Dalam kaitannya dengan keadilan hukum dalam Al-Qur’an ini, konstitusi Islam mengatur hak dan kewajiban berdasarkan keadilan. Di antara konsep keadilan itu, antara lain:

1. Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan bagi kebebasan pribadinya;

2. Setiap orang berhak memperoleh makanan, perumahan, perkawinan, pendidikan, dan perawatan medis;

3. Setiap orang berhak mempunyai pikiran, mengemukakan pendapat dan kepercayaan selama ia masih berada dalam batas-batas yang ditetapkan hukum;

4. Semua orang sama kedudukannya dalam Islam;

5. Semua orang dengan kemampuan yang sama berhak atas kesempatan yang sama, dan penghasilan yang sama, tanpa membedakan agama, etnis, asal usul dan sebagainya;

6. Setiap orang yang dianggap tidak bersalah sampai akhirnya dinyatakan bersalah oleh pengadilan, dan beberapa hak dan kewajiban yang menyambut beberapa aspek sosial, politik, ekonomi, pertahanan, keamanan dan sebagainya.[26]

Mengenai keadilan hukum berimbang –dalam hukum pidana- asas keadilan berimbang terlihat pada sanksi yang diberikan, semakin tinggi status sosial dan kedudukan seseorang dalam masyarakat, semakin berat hukuman yang akan dijatuhkan.

Sedangkan dalam bidang hukum perdata juga berlaku prinsip keadilan berimbang. Perbandingan dan perbedaan porsi bagi ahli waris sebagaimana yang telah ditentukan al-Qur’an adalah disesuaikan dengan perimbangan tanggung jawab yang dibebankan antara laki-laki dan wanita. Dalam hal ini, keadilan diterapkan dalam upaya menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya. Termasuk keadilan dalam hukum, adalah pengenaan denda atau hukuman terhadap orang-orang yang melanggar ketentuan-ketentuan agama, seperti suami yang menzihar isterinya atau suami isteri yang melakukan hubungan biologis pada siang hari bulan Ramadan. Mereka dikenakan kafarat yaitu memberi makan 60 orang miskin, sedangkan orang yang mengambil haji tamattu, dikenakan denda, memotong seekor kambing sebagai dam.

Konsep hukum dalam al-Qur’an tidak saja berorientasi pada keadaan hukum, tetapi juga memperhatikan faktor kemanusiaan, baik melindungi hak-hak korban, mau pun penjerahan (penyadaran) pelaku sendiri dari pelanggaran hukum.

Hal ini didasarkan kepada asumsi bahwa manusia merupakan khalifah Allah di muka bumi sehingga harus diperlakukan secara manusiawi dan sebagai subyek, bukan hanya sebagai alat semata. Karena manusia adalah makhluk termulia yang diciptakan Tuhan dan menjadi objek pembahasan utama dalam al-Qur’an.

Jelasnya, bahwa konsep hukum dalam al-Qur’an yang disertai sanksi, baik berupa sanksi duniawi mau pun sanksi ukrawi (neraka), adalah bertujuan untuk membatasi ambisi dan hawa nafsu manusia, sehingga hak-hak manusia lain dan kemanusiaan terpelihara, yaitu mencegah kerusakan bagi manusia, dan mendatangkan kemaslahatan, pengendalian dunia dengan kebenaran, keadilan dan kebajikan.[27] Jadi, larangan mengikuti hawa nafsu pada hakikatnya adalah upaya memelihara martabat kemanusiaan.[28]

Yusuf al Qardhawi dalam bukunya “Fiqih Maqashid syari’ah” menyebutkan perkataan Ibnul Qoyyim Al Jauziyah bahawa “ Dasar dan asas syariat adalah kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Seluruh syariat mengandung keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah.”[29]

Para ulama telah menyimpulkan bahwa paling tidak ada lima tujuan utama diturunkannya Syariat Islam yang biasa disebut dengan sitilah Maqashid Syariah, yang kesemuanya dalam rangka menjamin Kemaslahatan manusia dalam kehidupan, yaitu (a) memelihara agama, (b) memelihara jiwa, (c) memelihara akal, (d) memelihara keturunan, dan (e) memelihara harta.

Untuk memelihara agama, maka dilarang murtad dari Islam atau mempermaikan agama. Untuk memelihara jiwa, maka dilarang membunuh atau menganiaya orang lain tanpa alasan sah. Untuk memelihara akal, maka dilarang meminum khamar dan yang sejenisnya. Untuk memelihara keturunan, maka dilarang berzina. Untuk memelihara harta, maka dilarang mencuri.

Walau pun dari segi keadilan hukum, orang yang menganiaya atau membunuh harus dihukum qisas (dibunuh atau dihukum setimpal dengan penganiayaannya), namun hukuman itu tidak boleh melampaui batas, yang bertentangan dengan kemanusiaan. Karena itulah ada kemungkinan pelaku pembunuhan dan penganiayaan dimaafkan keluarga korban dan korban penganiayaan itu dari hukuman fisik, baik dengan tetap membayar diat (denda), mau pun tanpa diat sama sekali.

Orang yang belum menikah jika berzina, maka hukuman yang adil baginya adalah dicambuk 100 kali. Tetapi akan bertentangan dengan kemanusiaannya jika dihukum lebih dari 100 kali. Begitu pula pencuri, adil jika dipotong tangannya. Tetapi demi kemanusiaan, pencuri tidak dipotong tangannya jika mencuri di musim kelaparan, sebagaimana yang pernah dilakukan khalifah Umar bin Khattab.

Berpijak pada prinsip kemanusiaan ini, maka konsep hukum dalam Al-Qur’an, di samping berupa ketentuan hukum ‘azimah, juga disertai hukum rukhsah yang diberlakukan kepada orang-orang tertentu dan dalam kondisi tertentu pula. Dengan adanya hukumrukhsah, maka orang yang mengalami hambatan melakukan hukum ‘azimah akan tetap melaksanakan ketentuan hukum Tuhan dalam al-Qur’an. 

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa elan dasar (basic elan) al-Qur’an mempunyai penekanan pada keadilan dan persamaan esensial manusia.[30]

Bertolak dari uraian di atas, maka pandangan bahwa berbuat baik dengan jalan mengorbankan kepentingan diri sendiri untuk kepentingan pihak lain atau membalas kejahatan dengan kebaikan, lebih tinggi nilainya daripada keadilan, hanyalah benar dalam hubungan antar individu, namun keliru jika diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. 

Karena salah satu asas kehidupan bermasyarakat adalah keadilan, sedangkan sikap berbuat baik yang melebihi keadilan- seperti berbuat baik terhadap mereka yang bersalah (melakukan pelanggaran hukum) akan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.[31]

Keadilan harus ditegakkan, kalau perlu dengan tindakan tegas. Al-Qur’an menggandengkan “timbangan” (alat ukur yang adil) dengan “besi” yang digunakan sebagai senjata, mengisyaratkan bahwa senjata adalah salah satu cara atau alat untuk menegakkan keadilan. QS al-Hadid/57:25

وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيْدَ فِيْهِ بَأْسٌ شَدِيْدٌ وَ مَنَافِعُ لِلنَّاسِ


Terjemahannya : 

“Dan Kami menciptakan besi yang mempunyai kekuatan hebat dan banyak manfaat bagi manusia.”[32]

Karena itu jika terjadi pertentangan antara kedilan dan kemanusiaan dalam suatu penegakan hukum, maka pertimbangan keadilan hukumlah yang diunggulkan demi untuk melindungi harkat dan martabat kemanusiaan yang lebih luas. Dalam hal ini memang sepintas terkesan ketegasan keadilan hukum telah bertentangan bahkan mengesampingkan kemanusiaan. 

Namun perlu dipahami bahwa dalam penegakan keadilan hukum yang tegas, maka fungsi hukum sebagai social control dapat terealisir secara berdaya guna dan berhasil guna. Orang-orang yang merencanakan kejahatan akan mengurungkan niat jahatnya. Orang yang telah dijatuhi hukuman pun diharapkan akan jera (sadar) dan tidak mengulangi kesalahannya lagi.

Di samping itu konsep hukum dalam al-Qur’an dalam hal-hal tertentu memang bertujuan untuk kemanusiaan, seperti kewajiban tolong-menolong, zakat, infak, wakaf dan sedekah.[33]

Baca Juga : Surat Lamaran Pekerjaan di PT / Contoh Surat Lamaran Kerja Perusahaan Terbaru 2019

Begitu pula ketentuan hukum dalam Al-Qur’an berupa sanksi kafarat dalam bentuk pembebasan budak bagi orang yang membunuh tanpa sengaja. Atau memberi makan orang miskin bagi yang menzihar isterinya atau bersumpah atau berhubungan biologis siang hari di bulan Ramadan pada hakekatnya bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Tegasnya konsep hukum tersebut secara substansial bertujuan agar perbudakan dapat dihilangkan dan kemiskinan dapat dieliminir dalam kehidupan manusia. 

Pembebasan budak sama artinya menghidupkannya dari kematian, yakni kembali hidup dalam kebebasan dari kematian hak asasinya. Bahkan menurut Mahmud Syaltut, pembebasan budak – dalam kasus pembunuhan tanpa sengaja – secara maknawi merupakan upaya menghidupkan kembali jiwa orang lain,[34] menggantikan jiwa yang telah meninggal akibat pembunuhan tanpa sengaja itu.

Dengan demikian penegakan keadilan hukum akan mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan bukan saja masyarakat umum tetapi juga orang yang telah melanggar hukum itu sendiri. Karena itu konsep hukum dalam Al-Qur’an dapat dipahami sebagai konsep hukum yang memadukan antara keadilan dan kemanusiaan. Dengan penegakan keadilan hukum yang tegas, kemanusiaan akan terlindungi secara selaras dan seimbang. Bahkan dapat dikatakan, hukum Islam -yang bersumber dari al-Qur’an- adalah hukum kemanusiaan, yang memberi perhatian penuh kepada manusia dalam berbagai segi.[35]

Dalam konteks ini maka dianggap adil jika orang yang melanggar hukum harus dihukum, namun dalam pelaksanaan hukuman harus tetap memperhatikan kemanusiaan. Karena di dalam keadilan hukum itu terkandung kemanusiaan.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Al-Qur’an adalah Kitab Suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada NabiNya Muhammad SAW melalui malaikat Jibril untuk disampaikan kepada seluruh manusia. Al-Qur’an adalah petunjuk dan pedoman hidup, petunjuk dalam menggapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. 

Oleh karena itu di dalam al qur’an tidak hanya memuat persoalan-persoalan yang berhubungan dengan keimanan dan ibadah semata, tapi juga memuat aturan-aturan atau hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia baik dalam konteks kehidupan pribadi, keluarga maupun kehidupan jama’i (masyarakat).

2. Konsep hukum dalam al-Qur’an adalah ide pokok yang mendasari gambaran yang bersifat umum mengenai esensi atau hakekat hukum dalam al-Qur’an. Karena al-Qur’an bersumber dari Allah Tuhan Sang pencipta dan pengatur alam semesta, Tuhan yang Maha perkasa, Zat yang paling tahu apa yang menjadi kebutuhan dan kemaslahatan hamba-hambaNya, Zat yang Maha Pengasih dan Penyayang, Zat yang Maha adil dan bijaksana, maka tentu sangat logis jika kemudian konsep Hukum yang tertuang dalam al-Qur’an tersebut adalah konsep hukum yang dibangun di atas semangat keadilan dengan tetap menghargai dan menghormati harkat dan martabat manusia.



DAFTAR PUSTAKA


Abu Zahrah, Muhammad. Uşul al- Fiqh, Diterjemahkan olehSaefullah Ma’shum dengan judul Ushul Fiqih, Cet. VI; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000)

Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet. VIII; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000

Al-Salih, Subhi. Mabahis fi ‘Ulum al-Quran, Diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Cet. VIII; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.

Al-Qardhawi, Yusuf. Fiqih Maqhosid Syariah, Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal, Cet.I; Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 2007

Al-Qur’anul Karim, Tafsir Per Kata Tajwid Kode,Cet. III; Jakarta: Yayasan Qiblat, 2012.

A.Mas’adi, Ghufron. Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam,Cet. III; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.

Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Falsafah Hukum Islam, Cet. I; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.

Bin Hanbal, Ahmad. Musnad Ahmad. Juz V. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Hasan, Hasbi. “Respon Islam Terhadap Konsep Keadilan,” dalam Suara Uldilag, Vol. II, No. 5, September 2004.

Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Usul al-Fiqh,Bayrut: Dar al-Fikr, t.th.

Minhajuddin, Sistematikan Filsafat Hukum Islami, Cet. I; Ujung Pandang: Ahkam, 1996.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II,Cet. VI; Jakarta: UI Press, 1986.

Nasution, Harun. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Cet. VI; Bandung: Mizan, 2000.

Rasdiyanah, Andi. Hukum Islam – 2, Bahan Kuliah, Makassar: PPs IAIN Alauddin Makassar, 2005.

Salim, AbdulMuin Fiqh Siyasah Konsep Kekuasaan Politik dalam Al Qur’an, Cet. III; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Sardar, Zainuddin. Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come. Diterjemahkan Rahman Astuti dengan judul Masa Depan Islam, Bandung: Pustaka, 1987.

Schacht, Yoseph. An Introduction to Islamic Law, Oxford: Oxford University Press, 1964.

Shihab, M. Quraish. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, Cet. XVIII; Bandung: Mizan, 1999.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Quran: Fungsi Wahyu dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. XXVIII; Bandung: Mizan, 2004.

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet. XII; Bandung: Mizan, 2001.
Syah, Ismail muhammad. “Tujuan dan Ciri Hukum Islam,” dalam Zaini Dahlan, dkk., Filsafat Hukum Islam, Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Syaltut, Mahmud. Al-Fatawa, Cet. III; Kairo: Dar al-Qalam, t.th.


Endnote

[1]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi Wahyu dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Cet. XXVIII; Bandung: Mizan, 2004), h. 33.

[2]Yoseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford: Oxford University Press, 1964), h. 1.

[3]Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia(Cet. VIII; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 27.

[4]Subhi al-Salih, Mabahis fi ‘Ulum al-Quran, Diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Cet. VIII; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 15.

[5]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul al-Fiqh (Bayrut: Da ral-Fikr, [t.th.]), h. 34-35.

[6]Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Cet. VI; Jakarta: UI Press, 1986), h. 8-9.

[7]Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Cet. VI; Bandung: Mizan, 2000), h. 28.

[8]Al-Qur’anul Karim, Tafsir Per Kata Tajwid Kode, (Cet. III; Jakarta: Yayasan Qiblat, 2012), h. 28.

[9]Muhammad Abu Zahrah, Uşul al- Fiqh, Diterjemahkan oleh Saefullah Ma’shum dengan judulUshul Fiqih (Cet. VI; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 121-123.

[10]Muhammad Abu Zahrah, Usul al- Fiqh, Diterjemahkan olehSaefullah Ma’shum dengan judulUshul Fiqih, h. 121-123.

[11]Al-Qur’anul Karim, Tafsir Per Kata Tajwid Kode (Cet. III; Jakarta: Yayasan Qiblat, 2012), h. 332

[12]Andi Rasdiyanah, Hukum Islam – 2, Bahan Kuliah (Makassar: PPs IAIN Alauddin Makassar, 2005), h. 1.

[13]Al-Qur’anul Karim, Tafsir Per Kata Tajwid Kode (Cet. III; Jakarta: Yayasan Qiblat, 2012), h. 277.

[14]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet. XII; Bandung: Mizan, 2001), h. 111.

[15]Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, h. 61.

[16] Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, h. 61.

[17] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an., h. 111.

[18] Al-Qur’anul Karim, Tafsir Per Kata Tajwid Kode (Cet. III; Jakarta: Yayasan Qiblat, 2012), h. 100

[19] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an., h. 111.

[20] Al-Qur’anul Karim, Tafsir Per Kata Tajwid Kode (Cet. III; Jakarta: Yayasan Qiblat, 2012), h. 87

[21] Al-Qur’anul Karim, Tafsir Per Kata Tajwid Kode (Cet. III; Jakarta: Yayasan Qiblat, 2012), h. 587

[22] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an., h. 111.

[23] Hasbi Hasan, “Respon Islam Terhadap Konsep Keadilan,” dalam Suara Uldilag, Vol. II, No. 5, September 2004, h. 122.

[24]Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Juz V (Beirut: Dar al-Fikr, [t.th.]), h. 411.

[25]Hasbi Hasan, Respon Islam Terhadap Konsep Keadilan,” dalam Suara Uldilag, h.124.

[26]Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come. Diterjemahkan Rahman Astuti dengan judul Masa Depan Islam (Bandung: Pustaka, 1987), h. 385-386.

[27]Minhajuddin, Sistematikan Filsafat Hukum Islami (Cet. I; Ujung Pandang: Ahkam, 1996), h. 38.

[28]Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah Konsep Kekuasaan Politik dalam Al Qur’an (Cet. III; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 115.

[29]Yususf Al-Qardhawi, Fiqih Maqhosid Syariah, Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal (Cet.I; Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 2007) h. 7

[30]Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam (Cet. III; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 125.

[31]M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Cet. XVIII; Bandung: Mizan, 1999), h. 346-347.

[32]Al-Qur’anul Karim, Tafsir Per Kata Tajwid Kode (Cet. III; Jakarta: Yayasan Qiblat, 2012), h. 541.

[33]Ismail Muhammad Syah, “Tujuan dan Ciri Hukum Islam,” dalam Zaini Dahlan, dkk., Filsafat Hukum Islam (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 118.

[34]Mahmud Syaltut, Al-Fatawa (Cet. III; Kairo: Dar al-Qalam, [t.th.]), h. 150.

[35]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Cet. I; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 142-143.

Sumbangan Muh. Galang Pratama
untuk Pengetahuan.

Catatan:

*Silakan salin makalah ini, semoga Anda dapat memberikan kontribusi yang baik dan nyata untuk sekitar Anda.
Jika ingin mengucapkan terima kasih, silakan klik ini.


Donasi

0 Response to "Makalah Lengkap Konsep Hukum Islam dalam Alquran antara Keadilan dan Kemanusiaan"

Post a Comment

© MgP. Powered by Blogger.

Iklan Atas Artikel